05 April 2010

perdagangan asean china

Kerja sama perdagangan bebas ASEAN-China tidak perlu dihindari. Karena kerja sama itu justru bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga tahun 2050. Hal ini diungkapkan oleh penulis buku "When China Rules the World" Martin Jackues di Jakarta, Selasa (26/1).

Sebelum adanya perdagangan bebas ASEAN-China atau sejak 60 tahun lalu, China-Tiongkok telah menjadi mitra dagang keempat terbesar kawasan ASEAN. Nilai ekspor ASEAN ke Tiongkok mencapai 200 miliar dolar Amerika dari total impor Tiongkok.

Bagi Indonesia, Tiongkok adalah pemasok kedua impor, mitra dagang ketiga dan pasar keempat untuk ekspor. Tidak seperti Malaysia dan Vietnam, Tiongkok adalah mitra dagang dan pemasok terbesar. Data perdagangan ASEAN-China merefleksikan peringkat Indonesia di ekspor global masih rendah dibanding beberapa negara ASEAN.

Berdasarkan data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), ekspor Singapura sebesar 338 miliar dolar Amerika, Malaysia 199 miliar dolar Amerika dan Thailand 177 miliar dolar Amerika. Sedangkan total ekspor Indonesia ke China hanya 139 miliar dolar Amerika.

Martin Jackues menguraikan pandangan dan perspektifnya tentang China hingga tahun 2050. Menurut Martin, hingga 2050 ekonomi Indonesia dapat tumbuh pesat. Selain China dan India, Indonesia adalah negara dengan pertumbuhan ekonomi cukup pesat di krisis global.

Mau tidak mau, CAFT harus dijalankan karena perdagangan bebas dinilai sebagai terapi kejut dan berpengaruh besar terhadap perdagangan dunia, tak terkecuali Indonesia. Namun demikian, Indonesia harus yakin dan siap menghadapi CAFTA dengan memperkuat pemerintahan yang efisien dan punya daya saing bisnis


Realistis Hadapi Perdagangan ASEAN-China

MASYARAKAT Indonesia harus belajar dari sejarah, bahwa perkembangan China dan India memberikan pengaruh besar pada perkembangan Indonesia, baik di bidang ekonomi maupun sosial-kul-tural. Perkembangan China dan India dapat paralel dengan perkembangan Indonesia, jika masyarakat bersikap realistis dan memanfaatkan peluang.

Namun, banyaknya aksi demo dan tekanan dari kalangan pengusaha industri agar pelaksanaan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China atau ACFTA ditunda sangat kuat, menandakan besarnya pengaruh negatif terhadap industri Indonesia. Adapun pemerintah berpendapat tetap menjalankan kesepakatan dengan berupaya menunda pelaksanaan tarif nol untuk beberapa jenis produk tertentu. Menurut pengamat ekonomi Umar Juoro, perdagangan bebas memberikan keuntungan terutama bagi konsumen dengan banyaknya macam produk dan harga yang lebih murah. Namun, menyebabkan kerugian bagi perusahaan yang produknya tidak dapat bersaing berikut pekerja yang harus menganggur karena perusahaannya kalah bersaing. Penerimaan pemerintah dari

tarif juga berkurang drastis. Jadi, tugas pemerintah ialah mendorong perusahaan yang dapat memenangi persaingan dan memberikan jalan keluar serta alternatif bagi perusahaan yang kalah bersaing dan pekerja yang menganggur.Sekalipun pemerintah menunda pelaksanaan ACFTA untuk waktu tertentu, pada akhirnya perlindungan tersebut juga harus dihilangkan sesuai kesepakatan. Jika pemerintah melanggar, konsumen dirugikan karena harus membayar produk dengan harga lebih mahal dan perekonomian tak berkembang. Selain itu, negara mitra perdagangan bebas sangat mungkin akan melakukan balasan. Karena itu, kita harus menyikapi perdagangan bebas dengan realistis.

China melihat Indonesia sebagai pemasok penting ba-han mentah dan pasar yang besar bagi produk manufaktur, apalagi ditambah dengan negara ASEAN Iain. Indonesia defisit US$3,2 miliar dalam perdagangan dengan China.Defisit ini, terutama bersumber dari perdagangan nonmigas, mencapai US$4,6 miliar.Jika kita proyeksikan ke depan, defisit ini akan membesar karena defisit perdagangan nonmigas sangat sulit tertutupi oleh surplus dari migas. Secara realistis Indonesia harus semakin meningkatkan ekspor berbasis sumber daya alam, baik pertanian maupun pertambangan, untuk mengurangi defisit perdagangan.

Ke depan kita akan melihat kian pentingnya peranan Asia dalam mendorong perekonomian dunia. Kekuatan ekonomi akan bergeser dari AS dan Eropa Barat ke Asia. China dan India akan jadi penggerak utama pertumbuhan. Indonesia juga berpotensi jadi perekonomian besar di Asia dan dunia beberapa dekade ke depan jika kita dapat memperbaiki iklim investasi dan melakukan revitalisasi industri, pertanian, dan pertambangan.Bagi Indonesia, pendekatan realistis lebih baik ditempuh daripada mencegah atau meng-hindari persaingan dengan produk China. Indonesia punya kekuatan dalam SDAdan produk-produk berbasis SDA. Bahkan, produk-produk yang bersaing langsung dengan China, seperti tekstil, garmen, dan alas kaki, tak semua jenis kalah dalam persaingan. Produk-produk tertentu tetap dapat bersaing, apalagi jika produk mempunyai keunikan.

1 komentar: